Hellooww fellas!
Hari ini mau throwback dikit, ya, ke tahun 2015. Banyak banget kegiatan yang aku lakukan di 2015 yang istilahnya 'for the first time' gitu laah dan lebih banyak cuma di post di media sosial kayak IG atau Path. Akhirnya jadi males review gitudeh, padahal ini seru dan worth it banget buat diabadikan dalam bentuk tulisan. Asik.
Okaaay, back to H+4 hari lebaran 2015.
Sebenarnya, dari jauh - jauh hari, sepupuku dari pihak ayah yang juga domisili Malang, Naufal, yang udah pernah naik Gunung Panderman, sudah merencanakan untuk mendaki gunung itu lagi sama adekku, Yoga, ketika libur lebaran. Kebetulan, aku ditawarin juga haha yaudah langsung setuju lah, langsung kebayang nanti di gunung mau foto - foto hits ala - ala kayak #pendakicantik di Instagram. Nah, kami pun juga mengajak sodara - sodara yang lain, ada Bila-Bryan yang domisili Surabaya dan Mbak Shasha, sepupu dari pihak bunda yang juga domisili Malang yang sepanjang perjalanan ini akan sangat kami 'sesepuhkan'.
Bisa dibilang ini liburan keluarga paling nekat, sih, ya. Biasanya, kalau mau liburan yang butuh fisik banget, aku lebih suka bareng temen - temen daripada sama keluarga. Apalagi ini semua pendaki pemula dan pasti amatir banget deh haha. Kayaknya bakal menarik, nih, mendaki sama sodara - sodara sendiri.
Yakk, H-2 keberangkatan, Bila dan Bryan sudah tiba di Malang dan menginap di rumahku. Kami langsung bagi - bagi tugas untuk persiapan mendaki. Seperti biasa, kami, yang cewek - cewek (Aku, Bila, Mbak Shasha) mempersiapkan kebutuhan konsumsi, obat - obatan, dan perintilian - perintilannya. Kami mempersiapkan air mineral botol besar, roti, mie goreng, kopi, gula merah (katanya ini ampuh banget buat sumber energi saat mendaki), tisu kering, tisu basah, kresek besar, kresek kecil, obat pusing, obat diare, minyak kayu putih, plester, gunting, tali pramuka, porwebank, tongsis, fisheye, hape full batre, pokoknya banyak bangetlah.
Sedangkan Yoga, Naufal, dan Bryan tinggal pesen ke persewaan: 3 tas karier, 6 sleeping bag, dan 2 tenda. Selesai.
H-1 keberangkatan, ayahku mengajak kami untuk mencari bambu - bambu kuat yang nantinya akan menjadi tongkat yang menemani kami di sepanjang perjalanan. Yap, bareng - bareng kami menjelajah kebun belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon bambu yang menjadi batas antara kebun kami dengan Sungai Brantas yang kalau dilihat dari deket arusnya serem banget. Akhirnya, terpilihlah 6 tongkat bambu terbaik. Kami memilih tongkat masing - masing dan mengukir inisial nama kami di tongkat menggunakan pisau.
Tidak terasa, hari H pun tiba!
Selain mempersiapkan fisik yang kuat, kami mendapat banyak motivasi dari ayah, bunda, om, tante, dan oma yang memperkuat mental kami. Kami yang awalnya ketawa - tawa kayak mau liburan ke Coban Rondo, jadi lebih serius karena ini perjalanan yang 'for the first time' gitu (kecuali Naufal yang udah pernah naik gunung).
Bismillah.
"Kalau tas kalian beratnya 3 kilogram, setelah mendaki 100 meter, rasanya jadi kayak 30 kilogram," kata Ayah sebelum melepas kami mendaki. "Coba rasakan sendiri, deh."
Dan itu pun sepertinya terjadi!
Ketika sudah lewati check poin awal untuk mendaki gunung panderman, rasanya masih semangat gitu. Naufal, Yoga, dan Bryan membawa 3 tas karier besar itu yang isinya banyak banget dan entah tas siapa yang isinya tenda pasti lebih berat. Aku, Bila, dan Mbak Shasha pake tas ransel biasa yang juga udah lumayan berat buat level perempuan yang baru pertama kali mendaki. Yak, kami sangat semangat di awal!
Kemudian, ucapan ayah itu terjadi. Bila, cewek paling muda di tim kami, tiba - tiba meminta untuk beristirahat sebentar (setelah beberapa kali juga kami istirahat, sih). Kelihatan banget sih perubahan raut muka Bila yang masih semangat saat awal jam 4 sore kami mendaki, dan sekarang nggak tahu udah jam berapa.
"Mbak, pengen muntah,"
Dan akhirnya Bila memuntahkan isi perutnya ke jurang di pinggir jalan kami mendaki. Iya, jalan yang kami lalui di awal hanya terdiri dari tebing di kiri jalan dan jurang di kanan jalan. Untung kami semua memegang tongkat jadi bisa waspada kalau ada jurang.
Hari makin gelap dan Bila semakin menunjukkan raut wajah, "Mbak aku pengen pulang aja ayo mbalik."
Tapi kami semua senantiasa saling menyemangati yah meskipun sama - sama bosen denger kata semangat ya. Mungkin saat itu, kata semangat itu udah nggak ada maknanya. Yang ada adalah motivasi dalam diri sendiri. Apa? Apa motivasimu untuk sampai ke puncak?
Apa?
"Aku mau nulis namanya buat anniv sama pacar," kata Bryan. "Anniv yang ke-1... bulan."
Yaks! Kamipun meledek Bryan yang mungkin agak berlebihan karena baru 1 bulan yang sebenernya masih minggu depan tapi dia pengen nulis sekarang soalnya mumpung naik gunung. Tanpa dirasa, motivasi itu jadi menular ke kami semua. Ya, kami naik gunung untuk membantu Bryan menuliskan nama pacarnya di gunung. Demi anniv yang ke 1 bulan!
Kami pun langsung semangat.
Kata orang, ketika naik gunung, akan terlihat watak aslimu yang sebenarnya. Hmm aku kurang ngerasain, sih, ketika naik gunung bareng sodara - sodaraku ini. Soalnya, secara kami biasa ketemu hanya ketika ada event - event keluarga. Beda sama temen - temen kampus yang ketemu tiap hari, kan, jadi bisa ngelihat perbedaannya ketika mendaki. Justru ketika naik gunung ini, aku merasa sangat mengerti aku yang sebenarnya.
Kami tiba di Latar Ombo pukul 6 sore lebih. Rasanya legaa sekali karena Latar Ombo adalah pos persiapan sebelum kami menuju ke puncak gunung Panderman. Kami membangun tenda dan menyantap nasi bungkus sebagai makan malam. Setelah ini, perjalanan kami menuju puncaknya bakal jauh lebih berat dari sebelum menuju Latar Ombo, secara jalannya bakal lebih curam dan gelap. Ya, kami akan mendaki lagi. Malam ini.
di Latar Ombo. udah gelap sih. captured by Mbak Shasha |
Sekitar jam 8 malam, kami memutuskan untuk mendaki lagi. Tenda dibereskan, semua sampah dimasukkan ke kresek kecil yang ternyata berguna banget haha, jaket dipake, senter nyala semua pegang masing - masing, dan kamipun mendaki! Mendaki yang sesungguhnya!
"Mari, mas, mbak," kata - kata inilah yang selalu kami dengar ketika saling bertemu dengan tim pendaki lainnya, entah mereka sendang istirahat atau berpapasan dengan arah yang berbeda. Sungguh budaya yang menyenangkan.
Kunci mendaki versi kami simpel sih:
kalau capek, istirahat dulu. Jangan malu buat bilang ke tim mendaki
kalian buat berhenti sebentar. Jangan gengsi minta istirahat bentar
meskipun temen - temen satu tim kalian pada jago semua. Kan percuma kalo
dipaksaain terus nggak fokus dan malah terjadi hal - hal yang nggak
diinginkan.
"Semangat, mbak, tinggal 15 menit lagi sampe, kok," ujar pendaki lain yang arahnya berlawanan dengan kami, mau turun gunung kayaknya.
Faktanya, sudah 1 jam sejak pendaki itu menyemangati kami, tetap saja belum sampai.
Yo ayo semangat! Bahkan dingin malam itu sama sekali nggak kerasa bagi kami yang entah sudah di ketinggian lebih dari 1500 meter atas permukaan laut karena kami terus bergerak... dan pake jaket juga, sihh.
Setiap kali kami istirahat, mata kami selalu disuguhkan pemandangan bintang - bintang yang banyak dan indah banget dijamin planetarium macem apapun bakal kalah deh secara ini bintang asli semua haha. Mbak Shasha yang paling sepuh diantara kita, suka memberikan cerita - cerita tentang filosofi bintang. Kami mendengarkan dengan khidmat. Melihat lautan bintang di angkasa sungguh membuat kami merenung betapa kecilnya kami. Betapa kami bukan apa - apa. Kami hanyalah hamba Mu yang senantiasa butuh rahmat dan pertolongan Mu.
Alhamdulillah, kami tiba di puncah jam 11 malam. Udara dingin semakin terasa di puncak Basundara, nama puncak dari Gunung Panderman. Hey, ini 2000 mdpl! Sudah ada beberapa pendaki yang membangun tenda dan menyalakan api unggun. Kami segera membangun kedua tenda kami di tempat yang sangat strategis untuk melihat sunrise esok hari.
Kami sengaja membuat 2 tenda kami berhadapan, sehingga bisa menyalakan kompor ditengahnya. . Dodolnya, kompor kami tidak ada pemantiknya jadi harus dipancing dengan api supaya bisa nyala. Kami juga nggak bawa korek! Pelajaran banget, nih, harus pastikan kompor kita bisa nyala sebelum mendaki soalnya di puncak ini dingin banget sampe ke tulang!
Beruntung, teman sesama pendaki ada yang mau memberikan kami korek gas secara cuma - cuma. Alhamdulillah. Malam ini kami pun bercengkrama sebentar sambil ngopi - ngopi sebelum akhirnya masuk ke sleeping bag masing - masing.
Paginya, kami sangat antusias dan segera berburu spot untuk melihat sunrise. Subhanallah sunrise mulai muncul malu - malu sekitar jam 6 pagi.
view dari panderman. cantiik! |
SUNRISE! |
Alhamdulillah kami bisa berfoto - foto ria. Serius kami baru ingat kalau bawa seperangkat alat selfie begitu bangun pagi untuk melihat sunrise. Kami nggak kepikiran sama sekali buat selfie - selfie ketika proses mendaki. Kami yang awalnya bercanda terus di sepanjang jalan, menjadi lebih fokus dan religius serta makin mentadabburi kebesaran Sang Pencipta. Yang awalnya berniat membantu Bryan untuk anniv-nya yang ke 1 bulan, menjadi lebih tunduk terhadap kebesaran Allah dengan penciptaan gunung dan bintang - bintang yang luar biasa.
LtoR: Yoga, Naufal, Bryan, Bila, Emma, Shasha |
sama Yoga |
Sesungguhnya ini bukan liburan sekedar libur. Ini adalah proses pendewasaan diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Terimakasih, Panderman!