Pages

Monday, February 19, 2018

Sebuah Percakapan dengan Diri Sendiri

Halo. Kembali lagi dengan sebuah postingan random yang tiap hari selalu membuat kepikiran di pagi hari dan menjelang petang. Mungkin harus ditulis supaya lega aja.

Nggak kerasa sudah memasuki fase-fase "memilih" lagi. Abis lulus mau ke A atau B? Mau jadi X atau Z?

Mungkin ini yang dibilang orang kalau hidup itu pilihan. Dulu pas SD kudu milih mau lanjut ke SMP mana. Rasanya kayak gampang aja, gitu buat milih SMPN 1 Malang. Secara Bundaku, Budeku, alumni argowulas (nama keren SMP 1). Spensa (singkatan SMP 1) juga termasuk SMP favorit di Malang. Dan nggak sulit buat aku mutusin buat nyoba daftar program akselerasi waktu itu. Kayaknya aku udah paling percaya sama pilihan kedua orang tua. Selain milih spensa untuk menyenangkan orang tua, mereka juga pasti mau yang terbaik buat anaknya.

Yah, meskipun jadi anak aksel (singkatan dari akselerasi) di SMP juga banyak suka, duka, dan tantangannya, sih. Nggak mulus-mulus aja gitu. Sebenernya lumayan, sih, menghemat umur setahun. Tapi, jadi nggak bisa aktif ikut ekskul dengan maksimal. Belajar terus? Ya gimana nggak belajar kalau bagi anak aksel setahun ada 3 semester. Sempet banyak drama dan pro kontra, sih, pas menjalani kehidupan aksel di SMP. Stress sih. Tapi nggak segitunya bikin stress kayak mata pelajarannya yang semua serba 'ngebut'.

Baru-baru ini aku dapet info kalau program aksel ini udah dihapuskan. Kayaknya mentri pendidikan akhirnya menyadari kalau program ini cukup menekan psikis siswa. Huhu sebagai alumni anak aksel saya berasa jadi korban di masa lalu.

***

Pun, ketika memilih lanjut ke SMA mana setelah SMP, rasanya juga nggak terlalu sulit. Berbekal kepercayaan dan latar belakang keluarga yang banyak alumni sana, akhirnya milih masuk SMAN 3 Malang. Bangga dan senang juga, sih, masuk SMA favorit apalagi dengan dukungan penuh keluarga. Sekali lagi, memilih untuk menyenangkan orang tua.

Bhawikarsu (nama keren SMA 3) ini isinya orang-orang yang kompetitif dan punya bakat semua. Amazing. Aku yang dulunya pas SMP ekskulnya kayak setengah-setengah karena tuntuan aksel, jadi menyesal karena nggak punya bakat menonjol. Kesenian nggak jago, olah raga cuma kalo mood, ngerjain soal olimpiade gitu otakku nggak nyampe. Berada di lingkungan yang anaknya udah jago-jago tanpa membawa bekal, serba salah sekali bukan?

Tuesday, February 13, 2018

Pesan dari Kereta (2)

Menyambung Pesan dari Kereta (1), tulisan ini harus segera diselesaikan sebelum menguap. Setelah sampai dengan selamat di Stasiun Blitar, perjalanan aku, Ulfa, dan Momon berlanjut. Naik Kereta Kahuripan menuju Solo.

Jujur kami ngantuk banget karena kereta kami berangkat jam 12 siang, jam-jam ngantuk. Kebetulan, Kereta Kahuripan lagi sepi banget. Kami yang seharusnya duduk di bangku yang berdekatan, justru memilih bangku-bangku lain yang masih kosong supaya bisa tidur.

gerbong kosong. itu ada kaki nyempil, kaki Momon lagi tiduran
Kira-kira setelah 1,5 jam perjalanan, kereta ini baru lumayan terisi dengan penumpang. Heran deh padahal kami naik kereta hari Sabtu. Akhir pekan. Sangat berbeda kondisinya dengan Kereta Penataran. Yah, kami heran sekaligus bersyukur, sih. Karena ini kereta perjalanan jauh, kami bisa lebih nyaman menikmati perjalanan.

Pesan dari Kereta (1)

Siapa, sih, yang nggak suka traveling?

Aku pribadi bukan orang yang "hobi" traveling, sih. Tapi kalo dibilang "suka"? Iya. dong! Masih "suka" aja sampai saat ini. Secara aku ini tipikal anak rumahan yang cuma ngeliatin orang jalan-jalan di mall aja udah seneng. Mungkin jika diberikan kesempatan lebih buat jalan-jalan, bisa jadi bakalan hobi hehehe. People change, guys!

Sabtu kemarin aku dapet kesempatan buat ke Solo bareng 2 adik tingkatku yang super receh: Ulfa dan Momon. Bukan buat jalan-jalan, sih. Pure niat buat lomba. Jadwalnya simpel banget: Sabtu pagi berangkat. sampai di Solo sore hari. Hari Minggu full lomba sampai malem terus pulang. Alasannya? Karena Senin pagi jam 8.20 Momon harus kuliah dan ga berani dispen setelah kena coret absen di pertemuan sebelumnya.


Seketika langsung teringat berapa banyak bolos atau skip kelas yang selama ini aku lakukan :(


Sebagai kakak paling 'senior' diantara Momon dan Ulfa (iya aku semester 8 niw), rasanya kayak punya tanggung jawab lebih hehe. Yah, meskipun mereka berdua ini juga nggak bisa dibilang bocah banget, sih (fyi, kami bertiga sama-sama kelahiran 1997 LOL). Hanya saja, kerecehan dan keresahan mereka kadang kebangetan dan butuh diminimalisir.

Ulfa ini jiwa rasa ingin tahunya tinggi banget. Saking keponya, dia bisa bener-bener nggak sadar kalau kadang sikapnya itu malah dikira ngelawak. Tapi pantes, sih, ternyata dia anak bungsu gitu. Dia selalu mencari sesuatu dari orang lain yang bisa dia jadikan role modelnya. Ulfa ini contoh manusia deadliner tingkat super akut! Dan sikap deadliner parahnya ini bakal aku ceritain nanti di sepanjang perjalanan kami ke Solo.

Nah, kalo Momon ini ngakunya nggak pernah nonton TV tapi diajak ngobrol segala macem hal dia tau. Wawasannya luas banget. Siapa yang ngira ternyata dia juga paham tentang perdigitalan, desain web, dan segala hal berbau start up. Momon ini juga on time banget. Sehingga sudah bisa dipastikan ketika Momon dan Ulfa bertemu pasti adaa konflik-konflik receh.
Sama Momon dan Ulfa di stasiun kereta api
Oke, cukup perkenalan singkatnya tentang 2 orang yang akan berangkat bareng ke Solo sama aku. Sekarang, waktunya bahas perjalanannya!

Rute perjalanan berangkat kami cukup seru. Berawal dari mencari jalur termurah supaya menghemat biaya berangkat ke Solo, aku akui justru perjalanan berangkat ini seru abis! Ini sekaligus TIPS Trip Rute Malang-Solo yang murah, yaa hihi. Pertama naik kereta lokal Penataran (12ribu) dulu dari Malang ke Blitar, terus lanjut Kereta Kahuripan (84ribu) dari Blitar ke Solo. Kalau mau jalur langsung tapi perjalanannya nggak asik bisa pakai Kereta Matarmaja (109ribu) dengan 7 jam menekuk kaki :(. Iya, kereta Matarmaja sudah dikenal sebagai kereta jarak jauh yang murah tapi bikin pegel karena sempit dan 90 derajat banget kursinya.

Tuesday, February 6, 2018

Film Normies

Kemarin, aku belajar kosa kata baru: Normies.

"Sorry, yo, aku guduk normies."

"Apaan, sih, film normies."

"Sing ndelok iki normies kabeh."


Nate yang mempopulerkan kosa kata itu kemarin. Aku sama Ebil yang denger statement Nate cuma ngakak-ngakak geli gitu. Bukan karena ngerti maksudnya, tapi kocak aja cara Nate menghujat dan menjadi sarkas. Sampai akhirnya setelah sekian lama aku baru nanya, "Normies itu apaan, sih? Webtoon?"

Well, setelah Nate jelasin, ternyata Normies itu semacam ungkapan untuk sesuatu yang orang kebanyakan lakukan/mainstream. Dan Nate menegaskan, "Dan aku gak bakal dadi normies."

Hahahahaha oke.
_________________________________________________

Ceritanya, hari itu aku, Ebil, dan Nate mau kumpul-kumpul cantik setelah lama ga ketemu padahal kita sama-sama di UB!!! Kami ini temen SMA, sekelas pas kelas X gara-gara sok ide milih kelas Bahasa Mandarin. Nggak tau kenapa kami jadi akrab ya pas kelas X padahal kami punya banyak karakter yang beda.

Nate (nama aslinya Nadia) orangnya paling santai diantara kita bertiga. Otak kanannya super bukan main kalau disuruh menghias catatan atau bikin mind map. Jago gambar juga apalagi manga anime gitu. Aku sempet ngira dulu pas SMA dia bakal milih jurusan DKV atau arsitek mungkin. Tapi ternyata dia milih.......... Kedokteran Hewan! Iya, dia juga suka sama hewan, terobsesi sama NatGeo. Pengen jadi mentri supaya bisa melindungi satwa liar yang diperlakukan secara semena-mena dengan merubah sistem dan regulasi. Nggak mainstream banget, kan?

Ebil (nama aslinya Nabila) orangnya supel, ramah, dan mandiri. Definisi wanita independen. Tapi seindependen-independennya Ebil, dia juga terobsesi sama segala sesuatu tentang Korea. Dulu sempat menularkan obsesinya tentang Korena gara-gara ada nama girlband 2NE1. Dia kayak excited gitu bilang kalo nama 2NE1 juga bisa jadi singkatan nama kita bertiga (Nabila, Nadia, Emerald). Meskipun genre favorit kami berbeda (Nate suka anime, aku suka yang barat gitu), kita tetep saling toleransi HAHA! Oh iya, Ebil ini dari SMA udah paling jelas, sih, mau kuliah apa: Kedokteran. Yup, setelah berjuang sekian lama sekarang dia tinggal nunggu pembekalan buat koas.

Sunday, February 4, 2018

Syarat Yudisium

Hai!

Tulisan ini meyambung postingan sebelumnya tentang Syarat Daftar Ujian. Alhamdulillah kemarin baru aja ngumpulin berkas yudisium. Yah meskipun ada yang kurang aja ternyata.  Well, ternyata daftar yudisium nggak seribet yang aku pikir. Berkasnya lebih sedikit daripada syarat daftar ujian; draft jurnal acc dosbing, poster acc dosbing, lembar persetujuan, lembar pengesahan, surat pernyataan publikasi, form U9, form U5, dan screenshot bukti upload jurnal ke JPA (Jurnal Pangan dan Agroindustri). Nah, 2 berkas yang terakhir disebutin itu, belum ngumpulin.

Buat yudisium, skripsi yang sudah selesai wajib dibuat jurnal dan poster ilmiahnya. Pembuatan jurnal nggak terlalu sulit karena tinggal copas intinya dari skripsi. Nah, buat poster ini agak PR ya, karena saya tidak jago desain. Aplikasi ngedit yang saya bisa cuma Photoshop disaat lainnya udah pindah Corel Draw. Awalnya ngedit pake Photoshop. Dan jadinya aneh banget.

Pake Photoshop (nggak proporsional, kaku, berantakan)

Logo fakultasnya gede banget, sama isi tidak proporsional. Terus peletakannya kayak masih berantakan dan kaku gitu. Terus, dapet saran dari Ima, kawan seperjuangan PKM Bhawikarsu, biar gampang ngatur proporsi dan peletakan, pake Power Point aja. Dan bener, setelah aku coba, prosesnya lebih gampang dan hasilnya lebih nyenengin!

Pake Power Point! (bikinnya gampang, lebih rapi dan proporsional love it!)
TIPS Buat kamu yang skill desainnya payah kayak saya, coba pake Power Point deh buat bikin poster skripsi! Cukup berbekal kemampuan mengatur fitur "shape" dan sedikit imajinasi. HAHA

Setelah poster dan jurnal yang dikonsultasikan ke dosen udah fix, langsung minta ACC dosbing (acc poster di balik poster, acc jurnal di atas jurnal). Terus minta tanda tangan buat surat pernyataan publikasi, form U9, lembar persetujuan, dan lembar pengesahan.

Pas aku kumpulin berkas-berkasnya, aku baru inget kalau masih kurang 2 berkas: form U5 dan bukti upload jurnal. Petugas admin jurusan ngasi tau aku kalau 2 berkas tersebut bisa nyusul. Lega banget lah rasanya.

Malemnya, aku langsung coba upload jurnal skripsi aku ke JPA. Pertama buka web JPA, terus klik register. Setelah punya akun, aku langsung upload jurnal skripsi yang sudah sesuai format JPA ke link tersebut. Langah-langkah penguploadannya udah jelas banget di web nya, tinggal diikutin sesuai panduan. Setelah selesai upload, pihak JPA bakal ngirim email tanda sudah upload jurnal. Nah bukti ini yang discreechot dan diserahkan ke pihak admin jurusan.

Buat form U5 ini agak ribet sih. Isi form U5 ini adalah tanda tangan 6 pihak yang wajib harus fardhu ain menerima skripsi dalam bentuk soft copy (CD) ataupun hard copy (skripsi yang sudah dijilid), yaitu dosbing I, dosbing II, ruang baca FTP, perpus UB, akademik FTP, dan admin jurusan THP. Kalau semua persyaratan itu sudah terpenuhi, selamat! Tinggal menunggu nilai  anda keluar di SIAM UB dan jadwal yudisium!


Nah, karena form U5 masih dalam tahap menjilid, doakan semoga dilancarkan yaa ketika menjilid dan menyebarkan skripsi ini ke seluruh FTP dan UB supaya tidak menjadi beban dan bisa menyenangkan hati  orang tua. Aamiin :)

Friday, February 2, 2018

Mawapr*s

Halo!

Kali ini aku bakal cerita lagi soal keajaiban di tahun 2017, yaitu sesuai dengan judul di atas. Agak gimana gitu ya. Awalnya nggak pengen menulis tentang ini di blog. Tapi akhir-akhir ini, ada beberapa orang yang suka tanya ke aku tentang hal ini. Akhirnya bikin flashback. Akhirnya ditulis, deh! Mumpung inget!

Jujur, ya, ajang mawapres merupakan salah satu "suprise" yang aku belum tau relevansinya sama semua "ekspektasi" aku selama ini. Aku nggak pernah berpikir buat jadi mawapres. Nggak pernah kepikiran sejak maba sampai hari terakhir aku PKL di Bulan Februari 2017.

Suatu hari, salah satu temenku, Yoga namanya, tanya ke aku, "Em, kamu ikut mawapres?"

"Hah? Enggak, tuh."

Setelah itu, Yoga cerita kalo waktu dia ke kampus, dia dapet surat dari jurusan buat perwakilan mawapres. Bukan hanya nama Yoga, namaku juga ditulis disana. Kaget banget! Kayak lompat dari kasur pas kejatuhan cicak!

Thursday, February 1, 2018

Mau Jadi Apa?

Apa ketakutan terbesar kamu dalam 5 tahun kedepan? Mau jadi apa?



Yaaah mungkin nggak jauh-jauh dari karir dan jodoh. Sama kayak aku yang akhir-akhir ini sering ngobrol atau diskusi (biar keren bahasanya) tentang dua hal tersebut. Awalnya kayak yayaaa mengalir aja lah yaa hidup ini. Fokus sama apa yang ada sekarang. Dan bersyukur.

Tapi tapi tapi, setelah beberapa kali obrolan, aku ngerasa kayak aku "terlalu tenang" gitu. Kurang berani buat mimpi dan bercita-cita. Disuruh sekolah ya sekolah, disuruh kuliah ya kuliah. Tapi nggak study oriented banget, ngambang gitu lho aslinya mau ngapain. Saat temen-temenku kayak udah lebih pede mutusin buat mau ngapain setelah kuliah, aku dalem hati cuma bilang, "(aku pengen ngelakuin) Apapun asalkan aku happy."

Aku juga ngga tau kenapa punya pemikiran kayak gini.

Sampai suatu hari, Arni, salah satu temenku di kegiatan volunteer minta bantuanku buat jadi subjek penelitain dia. Temanya tentang identitas generasi Z. Nah, pas banget sama aku yang lagi heran kayak hilang arah dan bertanya-tanya sebenernya aku mau apa jadi sih?

Lagi pula cuma diwawancara doang kan? Aku mau-mau aja, dong.


Well, setelah 2 kali diwawancara sebagai subjek penelitian Arni, justru malah aku yang ngerasa terbantu! Berkat wawancara itu, aku jadi mencoba lebih mengenal siapa aku yang sesungguhnya. Aku dulu waktu masih kecil gimana, sih? Ada ngga pengaruh dari masa kecil yang kebawa sampai sekarang? Ya ampun, setiap kali abis ditanya dan meneritakan suatu hal, sedikit demi sedikit aku jadi lega. Aku merasa jadi lebih kenal siapa aku. Hehe.

Dari hasil wawancara itu, aku percaya kalau apa yang ada sekarang dipengaruhi oleh kenangan masa kecil.