Nggak kerasa sudah memasuki fase-fase "memilih" lagi. Abis lulus mau ke A atau B? Mau jadi X atau Z?
Mungkin ini yang dibilang orang kalau hidup itu pilihan. Dulu pas SD kudu milih mau lanjut ke SMP mana. Rasanya kayak gampang aja, gitu buat milih SMPN 1 Malang. Secara Bundaku, Budeku, alumni argowulas (nama keren SMP 1). Spensa (singkatan SMP 1) juga termasuk SMP favorit di Malang. Dan nggak sulit buat aku mutusin buat nyoba daftar program akselerasi waktu itu. Kayaknya aku udah paling percaya sama pilihan kedua orang tua. Selain milih spensa untuk menyenangkan orang tua, mereka juga pasti mau yang terbaik buat anaknya.
Yah, meskipun jadi anak aksel (singkatan dari akselerasi) di SMP juga banyak suka, duka, dan tantangannya, sih. Nggak mulus-mulus aja gitu. Sebenernya lumayan, sih, menghemat umur setahun. Tapi, jadi nggak bisa aktif ikut ekskul dengan maksimal. Belajar terus? Ya gimana nggak belajar kalau bagi anak aksel setahun ada 3 semester. Sempet banyak drama dan pro kontra, sih, pas menjalani kehidupan aksel di SMP. Stress sih. Tapi nggak segitunya bikin stress kayak mata pelajarannya yang semua serba 'ngebut'.
Baru-baru ini aku dapet info kalau program aksel ini udah dihapuskan. Kayaknya mentri pendidikan akhirnya menyadari kalau program ini cukup menekan psikis siswa. Huhu sebagai alumni anak aksel saya berasa jadi korban di masa lalu.
***
Bhawikarsu (nama keren SMA 3) ini isinya orang-orang yang kompetitif dan punya bakat semua. Amazing. Aku yang dulunya pas SMP ekskulnya kayak setengah-setengah karena tuntuan aksel, jadi menyesal karena nggak punya bakat menonjol. Kesenian nggak jago, olah raga cuma kalo mood, ngerjain soal olimpiade gitu otakku nggak nyampe. Berada di lingkungan yang anaknya udah jago-jago tanpa membawa bekal, serba salah sekali bukan?
Tapi, bersyukurnya sekolah di smanti (singkatan SMA 3), pihak kesiswaannya sangat mendukung siswa-siswinya untuk berkembang. Termasuk aku. Semua siswa wajib ikut ekskul karena ada nilainya di rapot. Dan semua ekskul selalu punya great event atau program kerja besar yang keren. Dalam satu kelas, kayaknya nggak ada siswa yang nggak pernah dispen pelajaran gara-gara ngurusin kepanitiaan, lomba, dan kesibukan non akademik lainnya. Mantap smanti!
***
Waktu itu aku udah mulai suka nonton YouTube. Pas itu lagi galaunya milih kuliah apa, kira-kira 4 tahun yang lalu. Tapi youtube belum sepopuler sekarang, sih. Isinya lebih jujur dan nyenengin aja. Menurutku segala pengetahuan di ensiklopedi sudah dikalahkan dengan keberadaaan youtube yang lebih praktis dan seru. Netizen juga nggak se-toxic dan se-cancer 4 tahun berikutnya.
Pas lagi iseng nonton cover lagu bahasa mandarin buat ujian praktik bahasa mandarin, muncul saran video atau iklan gitu tentang restoran makanan di taiwan. Karena tertarik ngeliat thumbnail gambar kuning telur yang mencolok, aku klik aja. Dan sejak saat itulah aku mulai tertarik hal-hal berbau inovasi, khususnya makanan.
Di video itu nyeritain cara bikin kuning telur buatan, yang pas di makan, pecah, ada sensasi rasa pedas, gurih, dan sebagainya. Dijelasin juga penggunaan nitrogen cair buat bikin es krim. Dari video itu aku tau kalau semua inovasi dan teknik yang digunakan si pemilik restoran itu adalah ilmu mollecular gastronomy.
Aku mikir, ada nggak, ya, kuliah buat mollecular gastronomy?
Akhirnya, seharian itu aku searching dan nontonin video tentang mollecular gastronomy.
Hasil yang aku dapat setelah searching dan konsulasi dengan guru BK, sepertinya jurusan yang mewadahi pelajaran yang aku sukai tersebut ada di jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Nah, teknologi pangan! Waktu itu juga lagi hype banget reportase investigasi yang menguji keamanan bakso, mie, tahu, apakah bebas formalin dan boraks atau enggak. Dan pakar penguji keamanannya selalu berasal dari lab teknologi pangan di Unpad. Cukup menjanjikan, bukan, kuliah teknologi pangan?
Tanpa babibu aku langsung mantap bilang ke guru BK kalo mau daftar jurusan teknologi pangan UB aja buat SNMPTN. Orang tuaku cukup senang dengan pilihanku, karena di Malang. Meskipun beberapa orang di keluarga ngira aku bakal milih kedokteran atau bidang medis, tapi asal orang tuaku senang, udah cukup.
Di saat semua temenku ingin kuliah merantau di kampus-kampus dengan nama besar, aku cukup patuh buat kuliah di UB aja. Sempet iri sama temen-temen yang pilihan SNMPTN nya di UI, ITB, UGM. Mungkin keren, ya, kuliah dibawah naungan nama kampus top. Tapi kadang mikir juga, mau keren karena kampusnya atau memang karena orangnya?
Buat teman-teman yang dulu atau sekarang merasa tidak berada di kampus impiannya: Tenang, rek. Sekali mutiara yo tetep mutiara kok dimanapun kamu berada.
***
Dan sekarang, menjelang akhir perkuliahan, lagi-lagi aku dituntut buat kembali memilih.
Kali ini, mungkin aku cukup percaya diri menyiapkan beberapa plan hidup. Secara kemarin pas milih jurusan kuliah, orang tuaku nyaris nggak ikut campur selain masalah biaya. Tapi, kemudian ketika aku menceriakan soal plan ku ke orang tua, masih ada beberapa hal yang crash.
Hal yang paling mendasari perbedaaan pendapat kami adalah: orang tuaku merasa aku tetap bisa berkembang kalau di Malang. Sedangkan aku merasa kalau keluar dari Malang bakal bikin aku bisa berkembang.
"Aku mau kuliah S2 di Belanda,"
"Udah, kuliah di UB aja, nanti kamu jadi dosen. Terus disekolahin lagi,"
"Aku mau kerja di BPOM atau LIPI. Terus jadi konsultan,"
"Jangan jauh-jauh, di Malang aja. Daftar CPNS di Pemkot Batu aja."
Ya Allah :(
Gini ya rasanya nggak disupport dan harus berjuang sendiri? For the first time since elemenary school I feel like there's no support from my parents :(
Aku yang biasanya memilih sesuatu untuk menyenangkan orang tua, sekarang bertentangan dengan mereka.
Sejak saat itu, aku males mau cerita atau diskusi tentang plan aku ke orang tua. Bahkan tiap ditanya temen setelah kuliah mau apa, selalu inget pas lagi argumentasi dengan orang tua. Cerita tentang plan hidup yang harusnya semangat dan menggebu, ada sedikit getirnya. Untuk mengatasi hal itu, biasanya aku cari di youtube cerita para mahasiswa yang berhasil kuliah keluar negeri biar semangat lagi.
***
Aku paham mungkin orang tuaku ingin yang realistis aja buat anaknya. Apalagi cewek. Duh, mungkin mereka mikir buat apa punya mimpi segambreng kalau at the end you're gonna be a housewife. Tapi, aku ngerasa punya mimpi dan cita-cita itu nggak terbatas gender, apalagi ini udah 2018. Bukan zaman perang. Sangat disayangkan kalau stereotype tentang mimpi dan cita-cita itu masih berlaku di zaman yang sudah sangat maju.
Coba liat ibu Sri Mulyani. Salah satu wanita Indonesia yang berhasil bikin bangga atas pencapaiannya sebagai Menteri Terbaik di Dunia versi World Government Summit. Salut! Kadang mikir nggak, sih, dengan segudang pencapaian ibu Sri Mulyani, terus suaminya ngapain? Mungkin nggak terekspos aja, tapi dibalik kesuksesan ibu Sri Mulyani, pasti dukungan keluarga khususnya suami (pak Tony Sumartono) sangat besar dong sampai mencapai titk karir saat ini.
***
Aku percaya, seseorang yang punya keinginan kuat untuk mewujudkan mimpinya, maka akan mendapatkan hal tersebut. Mungkin sedih, sih, di awal ketika orang terdekat kamu masih setengah hati buat merestui mimpi kamu. Tapi bismillah, Allah bersama prasangka hambaNya.
Mungkin ini saatnya kamu memilih nggak hanya untuk menyenangkan orang tua, tetapi dirimu dulu. Kemudian mewujudkannya, dan membahagiakan mereka.