Pages

Tuesday, February 13, 2018

Pesan dari Kereta (2)

Menyambung Pesan dari Kereta (1), tulisan ini harus segera diselesaikan sebelum menguap. Setelah sampai dengan selamat di Stasiun Blitar, perjalanan aku, Ulfa, dan Momon berlanjut. Naik Kereta Kahuripan menuju Solo.

Jujur kami ngantuk banget karena kereta kami berangkat jam 12 siang, jam-jam ngantuk. Kebetulan, Kereta Kahuripan lagi sepi banget. Kami yang seharusnya duduk di bangku yang berdekatan, justru memilih bangku-bangku lain yang masih kosong supaya bisa tidur.

gerbong kosong. itu ada kaki nyempil, kaki Momon lagi tiduran
Kira-kira setelah 1,5 jam perjalanan, kereta ini baru lumayan terisi dengan penumpang. Heran deh padahal kami naik kereta hari Sabtu. Akhir pekan. Sangat berbeda kondisinya dengan Kereta Penataran. Yah, kami heran sekaligus bersyukur, sih. Karena ini kereta perjalanan jauh, kami bisa lebih nyaman menikmati perjalanan.



Aku dan Ulfa duduk di bangku yang sama, sedangkan Momon duduk menghadap bangku kami. Di sebelah Momon ada seorang 'mas-mas galau' yang dari tadi pindah-pindah tempat duduk sambil mendekap tasnya. Beberapa saat kemudian, orang tersebut pergi dari bangku tempat kami. Mungkin sekarang mau pindah gerbong.

Tak lama setelahnya, kereta berhenti di Stasiun Madiun. Bangku di samping Momon yang barusan kosong, diisi oleh seorang wanita usia 30-an sepertinya. Setelah duduk, beliau langsung menyalami kami satu persatu. Saling memperkenalkan nama. Tapi aku udah lupa nama beliau, anggap saja namanya Bu Jes.

Lagi-lagi aku ngerasa ini unik banget. Langsung menyalami orang-orang yang duduk disamping kita. Apa mungkin aku yang terlalu ansos ya sampai ngerasa sikap Bu Jes yang menyalami kami macam mau interview di kereta itu kayak sesuatu yang sepertinya jarang banget terjadi.

Kemudian terjadi pertanyaan basa-basi macam dari mana dan mau kemana.

"Wah, dari Brawijaya, ya. Bagus itu. Murid-murid saya juga biasa ingin masuk Brawijaya, tapi yang vokasi. Soalnya kan lulusan SMK," cerita Bu Jes antusias.

Hening.

Bu Jes ini gayanya tomboy banget. Rambutnya sebahu tanpa akseosris. Posturnya tinggi. Bajunya ditutup jaket yang rapat, bawahannya celana jeans. Bawaannya cuma sebuah tas kecil yang kata beliau cuma isi mukena. Uang dan kartu indentitas dimasukkan di dalam jaket. Sekilas style beliau ini mirip kaprodi aku, Bu Erni.

Aku bisa liat wajah Momon sebenenrya udah ngantuk banget dan males meladeni karena tadi pagi sangat on time jam 06.30 sudah di Stasiun Malang, padahal kereta jam 07.10. Sepertinya kurang tidur gitu dan ingin membayar tidur di kereta. Sedangkan Ulfa, yang tadi pagi dateng 5 menit sebelum kereta berangkat, sepertinya masih semangat dan penasaran dengan cerita ibu tersebut.

"Saya ini guru, Dek. Tapi ya SMK nya yang siswanya ya... gitu itu," Bu Jes masih semangat cerita. Ibunya mungkin ingin sedikit curhat tentang suka duka mengajar murid-muridnya.

"Wah," Ulfa mulai memberikan feedback. "Kalau ibu sendiri mau ke Solo ada apa?"

Bu Jes tampak senang setelah akhirnya ditanya balik, "Saya mau foya-foya."


Doengg.

"Iya," lanjut Bu Jes. "Mau liat musik jazz. Ada Glen Fredli. Soalnya saya sudah ngempet masalah dari lama. Baru sempet foya-foyanya sekarang."

Ohhh. Sepertinya aku mulai paham maksudnya 'foya-foya' disini adalah refreshing, liburan, atau jalan-jalan gitu. Nyentrik emang. Foya-foya sendirian.

Lama kelamaan, obrolan jadi lumayan seru. Emang tipikal guru kan suka bercerita gitu, ya. Jadi sebagian besar obrolan ini seputar kisah hidup seorang guru, suka dukanya. Beliau cerita kalau ia seorang guru di sebuah SMK yang tidak favorit di kotanya. Beliau kayak hopeless gitu sama murid-muridnya secara kualitas. Kata beliau, semua siswa yang nilai UN nya tinggi sudah masuk SMA favorit, sedangkan SMK nya prioritas terakhir. Sementara sekarang kesiswaan menginginkan muridnya ke arah prestasi yang berbau keilmiahan.

"Kira-kira apa, ya, yang cocok buat anak SMK?" tanya Bu Jes kepada kami. "Jurusannya di SMK saya itu seputar ekonomi, akutansi, gitu. Saya ini kalau disuruh cari ide karya sudah bingung mau bikin apa."

Kebetulan pas banget kami mau ikut lomba dan ada sisi ekonomi. Kemudian kami menyarankan ke arah bussiness plan atau teknologi tepat guna. Yang penting idenya nggak muluk-muluk dan tetap menjanjikan, bisa sustain. Brainstorming ide gini bikin Momon jadi nggak ngantuk lagi dan banyak cerita ke Bu Jes tentang teknologi tepat guna jaman sekarang.




Murid-murid Bu Jes juga unik-unik. Selama 8 tahun beliau mengajar, beliau sudah menemukan berbagai tipe murid. Dari yang baik-baik sampai nantang ke guru. Dari yang soleh banget sampai yang masuk penjara demi melindungi pacarnya yang suka nyuri.

"Empat tahun pertama itu saya kaget banget jadi guru," cerita Bu Jes. "Tapi setelah itu, saya udah hafal jenis-jenis murid seperti apa. Yang nakal itu biasanya mereka punya background keluarga yang kurang baik, sehingga kurang kasih sayang.:

Tak terasa, perjalanan kami sudah sampai di stasiun Solojebres.

"Wah, terimakasih, ya. Bisa itu tadi. Lebih ke kewirausahaan atau teknologi tepat guna, ya," Bu Jes mereview lagi hasil diskusinya.

"Iya, Bu," jawab Ulfa. "Setelah nonton jazz ibu langsung pulang atau bagaimana?"

"Yah, nanti saya liat dulu. Kalau saya suka jazz nya, kan sampai malem tuh kemungkinan saya nginap. Kalau saya nggak suka, kan saya bisa langsung pulang. Saya duluan, ya."

Dan sekejap Bu Jes sudah menghilang dari gerbong itu saat kami mau turun dari kereta.

Ulfa dan Momon yang sangat happy sudah sampai Solo

Naik Kereta Kahuripan ini berasa kebalikan banget sama pas di Kereta Penataran. Selain jumlah penumpangnya yang berkebalikan, aku ngerasa tujuan pertemuan dengan Mr. Z dan Bu Jes itu kayak kebalikan juga! Kalau pas ketemu Mr. Z aku berasa yang dimotivasi dan dikasi inspirasi buat lebih praktik daripada sekedar teori, sedangkan pas ketemu Bu Jes beliau semacam yang mencari inspirasi dari kami buat topik murid-muridnya berkarya.

Sekali lagi mikir, apa perlu naik kereta dan random ngobrol sama orang, ya, kalau lagi butuh pencerahan?