Pages

Monday, February 1, 2016

Bertemu Dosen Pembimbing Akademik

Assalamualaikum, selamat malam.

Papa. Waktu muda.

Jujur, sebenarnya sangat ingin menghindarkan blog ini dari curhatan aneh yang isinya ngomongin orang terus ngga ada manfaatnya. Entah ini termasuk postingan yang seperti itu atau justru malah bisa mengambil hikmahnya. Ya, ini adalah kejadian yang masih anget banget baru tadi abis Isya'. Dan setelah mengalami kejadian ini salah satu perasaan yang terbersit disamping marah, malu, kesal, terharu... adalah HARUS DI TULIS DI BLOG.

Yeah. I did.

Hari ini rasanya panjang banget. Dari sekian banyak agenda yang aku tuliskan khusus untuk hari ini, salah satunya adalah meminta tanda tangan dosen pembimbing akademik yang biasa dipanggil Papa sama mahasiswanya. Ya, untuk menjaga privasinya, sebut saja Papa.


Sama seperti mahasiswa umumnya menjelang pergantian semester, mereka harus mengisi Kartu Rencana Studi yang selanjutnya ditandatangani oleh Dosen Pembimbing Akademik. Di angkatanku, ada 7 mahasiswa yang Dosen Pembimbing Akademik adalah Papa, termasuk aku. Kami yang sudah selesai mengisi Kartu Rencana Studi rencananya akan meminta tanda tangan Papa sore ini, jam 4 sore.

Aku, Boy, dan Adhima. Kebiasaan dari mahasiswa Papa adalah datang bareng - bareng ke kantor Papa, sebab beliau tidak memiliki ruang dosen di kampus. Ya, beliau adalah dosen senior yang lebih sibuk dengan berbagai usahanya, alias seorang wirausaha yang dosen, bukan dosen yang wirausaha. Got it?
Emma, Boy, Adhima are waiting for Papa!
Begitu tiba di kantor Papa sekitar jam 4 sore, aku mendapati Boy dan Adhima, 2 temanku yang juga mencari tanda tangan Papa sebagai wujud restu beliau. Kami pun akhirnya menunggu bersama mahasiswa bimbingan skripsi Papa hampir setengah jam. Ternyata, kami dapat info kalau Papa masih takziah ke Pak Warek III tahun lalu, dan diperkirakan pulangnya setelah magrib. Akhirnya, kami semua pulang dan memutuskan untuk kembali lagi jam 6 sore.

Yak, selalu berusaha untuk tepat waktu ketemu dosen. Aku, Boy, Adhima, dan beberapa mahasiswa angkatan tua yang butuh konsultasi skripsi dengan Papa sudah stand by di kantor jam 6 sore. Rame - rame. Udah kayak mau grebek rumah orang, namun suasananya sendu karena hujan dari tadi nggak kunjung berhenti. Justru malah makin deres!

Satu jam kemudian, yang dinanti - nanti pun datang. Papa!

Kami pun dipersilakan masuk dan menjelaskan tujuan menemui Papa, "KRS-an, Pak, hehe."

Maka, Papa langsung mengecek transkrip kami. Dimulai dari punya Adhima.
KAMU BISA LULUS 3,5 TAHUN!

"Wah, bagus ya IP mu," ujar Papa ketika melihat IP semester 2 Adhima. "Ini kamu bisa lulus 3,5 tahun lho. Kenapa cuma ambil 23 SKS?"

"Ga bisa full, Pak. Saya maksimal cuma 23 SKS," jawab Adhima santai.

Papa mangut - mangut dan langsung memberikan restunya dengan membubuhkan tanda - tangan di Kartu Rencana Studi dan kartu birunya.

Kemudian giliranku. Nah, ini aku udah menduga jauh - jauh hari kalau momen KRSan ini bakal kena semprot. Secara aku cuma ambil 21 SKS padahal IP ku memungkinkan buat full 24 SKS.

"Lho, kok cuma ambil 21?" matanya memicing melihat KRS ku. "Kamu bisa lulus 3,5 tahun, lho."

That words. Again.

"Mau ambil mata kuliah pilihan tapi kelasnya full, Pak," jawaban paling sederhana ini sudah kusiapkan dari jauh - jauh hari.

Kemudian beliau memberika wejangan tentang makna sistem kredit semester yang intinya mempresusasi agar aku mengambil lebih banyak SKS, "Nah, gimana? Apa mau KPRS aja kalau kelasnya full?"

"Saya nyoba 21 aja, deh, Pak, " jawabku mulai takut - takut. "Saya khawatir keteteran kalau ambil full."

"Kalau gitu ikhlas, ya , nggak lulus 3,5 tahun?" tanya beliau sekali lagi memastikan sembari akan menandatangani KRSku.

"Bismillah doain, ya, Pak, lulus tepat waktu,"

Akhirnya beliau menandatangai KRSku. Alhamdulillah. Kemudian, beliau menandatangani kartu biru.

"Lho, apa ini?" tanya beliau ketika akan menandatangai kartu biruku. "Kok di kolom semester 2 tidak ada tanda tangan saya?"

Aku, Adhima, dan Boy melihat kolom kosong yang ditunjuk oleh Papa di kartu biruku. Ya, jadi di kartu biruku hanya ada tanda tangan Papa di kolom semester 1 dan 3.

"Lho kamu kok boleh ambil semester 3 tanpa ada tanda tangan saya di sini? Kosong ini lho."

Deg.

Serius asli lah lupa kenapa kok Papa ngga sempet tanda tangan di kolom semester 2, tapi beliau tanda tangan di semester 1 dan 3.

"Wahh," tiba - tiba sekretaris Papa muncul. "Kalau kayak gini orang tuamu bisa dipanggil. Kayak Dinda dulu."

Entah siapa itu Dinda tapi sukses bikin makin panik.

"Waduh maaf, Pak, bener - bener ini saya lupa kenapa hanya di semester 2 bapak tidak tanda tangan."

Papa menatapku lurus, "Kamu titip KRS ya?"

"Waduh, engga pak!" jawabku panik.

"Biasanya kami kalau minta tanda tangan bareng, kok, Pak," ujar Adhima.

"Hmm," Papa bergumam. "Soalnya pernah ada kejadian kayak gini terus ketahuan dan anaknya ngga bisa ikut ujian.."

Waduh :((((

"Nanti kayak Dindaa...." Gosh. Sekali lagi, si sekretaris Papa itu annoying banget!! :(((

"Tiap semester kami kalau minta tanda tangan selalu bareng, kok, Pak," Boy juga mencoba meyakinkan.

Buntu.

Hening sesaat.

Asli lah lupa kenapa Papa sampe ngga tanda tangan disitu tapi aku tetep bisa ambil Semester 2. Dan sekarang... udah semester 4?? Lupaa huhu fix.

Merasa ngga berdaya sama sekali.

"Oh iya!" tiba - tiba suara Boy memecah keheningan. "KRSan kan mulai di semester 2, Pak. Waktu itu, kan kolom semester 1 memang kosong, Pak, karena belum dapet dosen pembimbing akademik. Nah, waktu Emma minta tanda tangan buat semester 2, bapak tanda tangannya justru di kolom semester 1. Jadinya kolom semester 2 kosong, begitu, Pak..."

Aku masih speechless. Tapi beneran, deh, penjelasan Boy udah kayak argumen seorang saksi mata yang membela korban. Huwaa.

Aku melirik kartu biru milik Adhima yang ada tanda tangan di kolom semester 1, 2, 3, dan barusan semester 4 nya udah ditandatangani, "Kok punyamu ada tanda tangannya semua sih, Dhim?"

"Oiyo, aku iling," Adhima menjelaskan. "Mbiyen awakmu pas ditandatangani mek siji, kan? Aku yo mek siji terus aku njaluk kolom sijine maneh ditandatangani. Dadine kabeh kolomku ditandatangani."
(intinya dulu pas KRS semester 2, cuma ditandatangai kolom semester 1 nya. Nah harusnya kamu minta kolom semester 2 ditanda tangani juga waktu itu, Em."

Hmm terdengar masuk akal. Tapi serius aku masih ngga inget huhu. Tapi akhirnya beliau percaya dengan pembelaan kedua rekan sejawadku ini dan mau menandatangainya. Tapi tetep aja eksresinya dingin. Huhu. Tapi alhamdulillah.

Kemudian, giliran Boy terakhir. Boy mengambil 24 SKS dan seperti sudah diduga, kalau Papa dengan mudahnya memberikan tanda tangannya. Mungkin di pikiran beliau, semakin banyak SKS yang diambil, akan semakin baik. Yap, Papa adalah orang yang bangga dengan prestasi lulus 3,5 tahun.   Oh yeah.

Kayaknya cuma aku yang keliatan bermasalah banget. Uhh. Malu, pol. Ketika pamit pulang pun, aku berkali - kali mohon maaf ke Beliau. Beneran deh jadi pelajaran banget. Bahkan miskom sekecil itu bikin ngga enak di kedua belah pihak, yakni mahasiswa dan dosen. Mungkin kalau nggak dibelain sama temen - temen sendiri tadi, tamat deh. Mana si sekretaris Papa itu doyan banget manas - manasin. GREAT.

Setelah pamit dan keluar dari kantor Papa, aku baru bisa bernafas lega. Rasanya pengen nangis apalagi Boy dan Adhima kayak mengasihani gitu. Ya, aku agak ngga suka, sih, dikasihani kerena kelihatan seperti orang yang lemah banget. Tapi emang aslinya lemah dan nggak berdaya sih.. kalau tanpa kuasa Allah SWT *asik*
yooo STRONG EM!
Hujan belum berhenti seakan ikut prihatin dengan insiden pertemuan dengan dosen pembimbing akademik hari ini. Sepanjang perjalanan pulang cuma bisa mengumpat ke diri sendiri. Parah banget sih, Em? KRSan ke Papa aja sampe lupa? Masa Boy sama Adhima lebih inget? Coba kalau aku inget dan yang ngasih penjelasan itu ke Papa, pasti namaku ngga bakal buruk di mata Papa? Duhh.. Zz... Kesel banget... Aaaa... *otw pulang ke rumah naik motor sambil nangis asli lebay banget*